sponsor

Slider

AMP TV

Release

Nasional

Hukum

Dari Basis

Internasional

Ekspresi

» » Tingkat Perceraian Keluarga BMI Hongkong Meningkat Terus

Dampak Keluarga BMI
Terberai

AMP-HK, Hongkong - Tingginya jumlah perceraian Keluarga Buruh/pekerja yang bekerja di Hong Kong (data tahun 2012 tercatat terus meningkat hingga 83 persen). Sebagian besar kasus perceraian ini terjadi pada keluarga Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong adalah salah satu kekuatiran yang terus mendera dan mengganggu ketenangan bekerja.

“Kenaikan tingkat perceraian ini karena mereka (BMI) terlalu lama di sini (Hong Kong) sementara suami dan istri itu secara manusiawi seharusnya tidak berpisah lama,” kata Hari, Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong (KJRI-HK). Data tahun 2012 tercatat penerimaan pengajuan surat kuasa perceraian dari Tanah Air sebanyak 1869 buah, meningkat dari tahun 2011 yang hanya 1022 buah. Jumlah perceraian ini terus naik dalam 3 tahun terakhir karena hingga 2010, jumlah perceraian WNI masih berada di bawah angka seribu. Sebagian besar pengajuan kuasa surat perceraian ini diajukan oleh istri.

Umi Sudarto menyimpulkan tingginya perceraian tersebut tak lain karena rata-rata BMI yang bekerja di Hong Kong tinggal dalam jangka waktu yang lama bahkan dapat mencapai kurun 12 tahun. “Sistem patriakal yang kuat adalah persoalan yang belum sehingga banyak hak buruh migran yang dikorbankan. Perlindungan dan tidak jelasnya sistem kerja untuk PRT asing di Hongkong sendiri juga sangat berperan terhadap masalah ini,” kata Umi menekankan.

Anis, aktifis buruh di Surabaya, menyatakan perpisahan karena berjauhan bertahun-tahun sebenarnya bukanlah alasan utama perceraian banyak terjadi di kalangan BMI di Hong Kong. 

“Meski berpisah tempat, bukan berarti perkawinan akan berakhir kepada perceraian karena yang terpenting adalah menjaga komunikasi, dan memiliki harapan yang sama atas pernikahan mereka,” kata Anis. 

Saat sang istri berangkat bekerja ke luar negeri, Anis  menyatakan baik suami maupun istri harus berkompromi dengan kodisi mereka yang terpisah karena pekerjaan dan juga harus sepakat tentang pengiriman uang hasil bekerja di Hong Kong, tambah Anis.

"Banyak perceraian BMI terpicu karena sang suami di Tanah Air cenderung menjadikan istrinya sebagai mesin penghasil uang. “Seharusnya, istri itu bekerja hanya untuk membantu keuangan rumah tangga, bukannya malah jadi mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri) buat suaminya,” kata Sumi, PRT di Hongkong.

Kekuatiran atas tingginya kasus perceraian ini tak pelak turut membuat khawatir BMI yang masih membina biduk rumah tangga. Sumaroh, PRT asal Grobokan misalnya, bertekad hanya bekerja di Hong Kong paling lama 3 tahun. Semata-mata karena Sumaroh yang telah berumahtangga selama 5 tahun ini tidak “tenang hati” meninggalkan suami dan anak semata wayangnya yang baru berusia 4 tahun di Tanah Air. 

“Alhamdullilah sampai sekarang suami dan saya nggak kenapa-kenapa, karena yang penting komunikasi. Dia juga kalau minta dikirimi uang selalu ngecek dulu, kamu di Hong Kong cukup nggak?”, kata Somaroh menjelaskan kekuatiran suaminya.

Meski demikian BMI yang bekerja di Yuen Long ini menyatakan dia dan suami sepakat, paling lama 2 tahun lagi Sumaroh harus pulang ke Tanah Air saat sang anak mulai masuk sekolah. “Karena sedih juga rasanya, anak saya mulai tanya, kenapa kok teman-teman saya diantar mama-nya, saya nggak?”, kata Iin, tersenyum miris. 

Fakta lain, tidak ada BMI yang hanya bisa bekerja dengan waktu 2 tahun (1x kontrak) tapi terkondisi (baca: terpaksa) harus berkali-kali bekerja dengan sistem kontrak, bahkan banyak ditemukan tidak mengambil cuti untuk pulang ke Indonesia.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

1 comments:

Disclaimer : Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi AMP Hongkong. Kami berhak mengubah kata-kata yang berbau pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.